Fenomena Mencari dan Menjual Ilmu Spiritual, Ilmu Pendidikan, Ilmu Karakter, Ilmu Kepribadian, dan Ilmu Rahasia Kehidupan
Di akhir zaman ini, wa bil khusus di negeri ini
bertaburan yang namanya Motivator, Trainer, Pembicara, Ustadz, Da’i,
Guru, Mursyid, Konsultan, Therapist, Kyai, Syekh, Habib, Penulis Best
Seller, dan lain sebagainya. Tapi uniknya, akhlak penduduk di negeri ini “sepertinya” malah kian terpuruk ya. Why?
Dalam pengamatan saya yang rendah ini, jika tujuan
seseorang berbagi ilmu atau mencari ilmu adalah penghasilan, uang, atau
dunia, maka ketahuilah bahwa “uang” itu energinya rendah sedangkan ilmu
itu energinya sangat tinggi. Sehingga jika tujuan kita adalah uang maka
kita tak akan pernah sampai kepada ilmu tersebut, apalagi sebuah ilmu
yang dapat membentuk karakter dan di amalkan di kehidupan sehari-hari,
hmm bagaikan asap jauh dari panggangnya.
Sehingga perlu disadari bahwa“uang” bisa menjadi
hijab (penghalang) terbesar antara ilmu dan amal, antara hidayah dan
kehidupan nyata. Uang bertambah, ilmu bertambah, tapi amal dan hidayah menurun drastis di kehidupan. Na’udzubillahi min dzaalik.
Nah, menurut Anda, untuk apa sih ilmu itu? Apakah
untuk diamalkan, diajarkan, didebatkan, disombongkan, diadukuatkan,
dipamerkan, atau diperjualbelikan? Apakah ilmu itu sebuah komoditas atau
sebuah alat yang mendasar yang tidak boleh diperjualbelikan?
“Barang siapa yang belajar suatu ilmu yang
seharusnya dilakukan dengan ikhlas, tetapi dia menuntutnya demi mencari
keuntungan dunia darinya, maka dia tidak akan bisa mencium baunya syurga
pada hari akhir” (H.R. Abu Daud).
Sahabatku yang berhati lapang, kini sebagian dunia
pendidikan pun lebih mirip membangun bisnis perdagangan dibandingkan
pembangunan karakter anak bangsa. Kompetensi yang dimiliki guru pun
didagangkan dan ditukar dengan sejumlah uang (SPP) yang dibayarkan oleh
orang tua murid di setiap bulannya.
Tak heran bila banyak guru yang kehilangan “magnet” digugu dan ditiru , bahkan justru banyak murid yang culangung alias kurang ajar kepada para gurunya karena mereka menganggap “guwa kan sekolah di sini bayar muahhaal ”.
Nah, karena iklim yang terlanjur dibangun di dunia
pendidikan kita adalah “menuntut ilmu sebagai sarana mencari nafkah” ,
baik untuk guru atau untuk murid-muridnya, maka ketika pemerintah
mengadakan program “Pendidikan Gratis” maknanya justru menjadi
“Pendidikan tidak Berkualitas”.
Padahal, dalam sejarah pemerintah Islam, pendidikan
itu gratis, namun demikian para Guru/Ustadz/Ulama nya adalah
orang-orang yang sangat dihormati. Hal ini terjadi karena orientasi guru
dan murid sama, yaitu menuntut dan mengajarkan ilmu itu untuk membangun
karakter/akhlak dan akidah demi keselamatan di dunia dan akhirat, dan
bukan untuk mencari nafkah semata.
Sahabatku, coba perhatikan fenomena tawuran di
negeri ini, tawuran justru banyak terjadi di dunia pendidikan. Selain
tawuran masih banyak kejahatan yang terjadi di dunia pendidikan, seperti
: nyontek berjama’ah, zina antar pelajar, zina antar guru dan murid,
penyebaran film porno, jaringan narkoba, dan korupsi yang sudah dianggap
wajar oleh sebagian guru.
Yang uniknya adalah orang tua murid pun kadang
lebih sedih bila anaknya tidak bisa matematika dibandingkan tidak bisa
jujur, tidak bisa berhenti di kala lampu merah menyala di lalu lintas,
dan tidak bisa ngantri dengan benar .
Saking sibuknya sebagian para guru, murid, dan ortu
murid dalam hal mengejar target, nilai, pengakuan, penghargaan,
kompetensi, dan reputasi sekolah, maka akhlak dan karakter anak bangsa
pun dikorbankan hidup-hidup.
Sebagian dari mereka berpendapat : lebih baik
nyontek berjama’ah ketika UN daripada reputasi sekolah hancur karena
nilai UN akumulatif sekolah tidak sesuai target. Padahal jelas-jelas
pesan Nabi itu “Mencari Ilmu”
dan bukan “Mencari Nilai”. Biasanya, mencari ilmu itu untuk diamalkan,
sedangkan mencari nilai itu untuk dipamerkan, right ?
Sahabatku, “tholabul ‘ilmi” sering diartikan “mencari ilmu”, dan itu benar. Tholabu berasal dari kata tholaba yang artinya menuntut atau “meminta”.
Sehingga hakikat “tholabul ‘ilmi” adalah “mencari ilmu dengan cara meminta kepada yang memiliki ilmu” dan bukan “mencari ilmu dengan cara membeli kepada yang memiliki ilmu”. Adapun memberi ilmu kepada yang memintanya adalah kewajiban, tentu saja disesuaikan dengan kondisinya.
Yang penting adalah jangan sampai kita tidak jadi
memberikan ilmu hanya lantaran si peminta ilmu tidak sanggup membayar
atau membeli ilmu yang kita miliki sesuai dengan harga yang kita
tetapkan. Padahal ilmu “rahasia kehidupan” itu sangatlah mahal, sehingga
bisa jadi sebesar apapun harga yang kita tetapkan maka kita telah
“merendahkan ilmu yang kita miliki”.
Allaahu Akbar, nah jika seorang pembicara ketika ia
berbicara menyampaikan ilmunya lalu yang terbayang di otaknya adalah
“uang atau bayaran tertentu” maka bayangan itu bisa menutup vibrasi /
energi ruhani spiritual yang seharusnya terpancar dari jiwa si pembicara
kepada para audiennya.
Nah, bagaimana baiknya? Indahnya sih bila suatu
saat dalam dunia “pendidikan”, “training spiritual”, apalagi “ceramah
agama”, tidak ada lagi istilah “bayar”, bahkan kalau perlu tidak ada
lagi istilah “gratis” , tapi sama-sama sadar dan saling mengerti antara
pembicara, pendidik dengan para pendengar dan murid-muridnya.
Misalkan, pembicara memberikan ilmunya karena
Allah, dan si pendengar pun mendapatkan ilmu dan hidayah dari Allah, dan
bukan dari si pembicara. Pembicara hanyalah washilah di dunia fisik
saja.
Setelah si pendengar mendapatkan ilmu dan hidayah
dari Allah, maka si pendengar dengan rela hati memberikan hadiah berupa
apa saja yang baik kepada si pembicara, memberikannya karena Allah dan
bukan karena ilmu si pembicara. Diberikan sesuai kemampuan, dengan
membesarkan tekad dan niat di jalan kebaikan, dan besarnya tidak
ditentukan oleh si pembicara. Insya Allah berkah. Alhamdulillah.
Wallahu a’lam
Kang Zain
(Mentor S3 qu..... )