Rabu, 28 Maret 2012

HUTANG.... Tidaklah Ringan ?

shalat sempurna, shalat nabi, sholat nabi, shalat berjamaah, sholat berjamaah, shalat khusyu, sholat khusyu, tentang shalat, tentang sholat, bacaan shalat, bacaan sholat

Siapa di antara kita yang tidak pernah berhutang? Mungkin saja ada, karena Allah Subhanahu Wa Ta’la memberikan rejeki yang lebih kepada mereka. Tetapi kebanyakan dari kita pernah berhutang.Namun, yang menjadi permasalahan adalah bukan apakah kita pernah berhutang atau tidak. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri pun pernah berhutang. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kita menyikapi hutang. Ada di antara kaum muslimin yang benar-benar amanah terhadap hutang-hutangnya tetapi tidak sedikit pula yang meremehkannya, seolah-olah ini adalah masalah yang tidak perlu diperhatikan.

Allah Subhanahu Wa Ta’la, berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…” (Al-Baqarah : 282)


Ayat di atas menyebutkan bahwa ketika seseorang memberikan hutang, hendaklah ia menulis/mencatat apa yang diberikannya. Pun, hendaklah ia mencatat transaksi tersebut sedetil mungkin (harga, barang, dan tanggalnya). Untuk mempermudah pembayarannya kelak. Dan jika keadaan memungkinkan datangkanlah saksi, yakni 2 orang pria atau 1 orang pria dan 2 orang wanita. Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’la :

“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya…” (Al-Baqarah : 202).


Namun, mendatangkan saksi di sini bukanlah sebuah kewajiban, berdasarkan hadits panjang riwayat Imam Al-Bukhari. Hutang memang diperbolehkan di dalam Islam. Namun, bukan berarti kita dapat berhutang dengan mudah di sana-sini. Karena hutang adalah sesuatu yang wajib dibayar, jika tidak dibayar di dunia maka akan dibayar di akhirat. Sayangnya, banyak di antara kaum muslimin yang menomorduakan hutang-hutangnya dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhannya yang mungkin tidak lebih penting daripada keselamatannya di akhirat.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Perhatian Terhadap Hutang

Dalam sebuah kisah disebutkan :

“Dari Salama bin Al-Akwa dia berkata : “Seseorang yang telah meninggal dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar beliau mengimami sholat jenazah. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya : ‘Apakah dia meninggalkan hutang?’, ketika orang-orang menjawab tidak, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menshalatinya. Seorang yang telah meninggal lainnya dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar beliau mengimami sholat jenazahnya. Beliau bertanya : ‘Apakah ia meninggalkan hutang?’, orang-orang menjawab, ‘ya’, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menolak menjadi imam dan bersabda, ‘pimpinlah sholat jenazah saudaramu’. Abu Qatada berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku yang akan menanggung hutangnya’. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun menjadi imam dalam sholat jenazah tersebut.” (Riwayat Al-Bukhari).

Lihatlah betapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menganggap urusan hutang bukanlah perkara yang sepele. Bahkan beliau menolak untuk menjadi imam dalam menshalati jenazah orang yang masih memiliki hutang, sampai hutang tersebut dilunasi. Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menganggap hutang adalah perkara yang kecil.

Jika Anda masih kurang yakin akan berbahayanya hutang ini, cobalah pikirkan baik-baik hadits di bawah ini :

“Dari ‘Aisyah Radyallahu ‘Anhu bertutur, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdo’a kepada Allah di dalam shalatnya, ‘Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dan adzab kubur, dan aku berlindung dari fitnah Al-Masih ad Dajjal, dari fitnah hidup dan fitnah mati, dan dari hutang.’ Seseorang bertanya kepada beliau ‘kenapa engkau berlindung kepada Allah dari hutang ?’ Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab ‘Seseorang yang berhutang berdusta ketika dia berbicara, dan mengingkari janji.” (Riwayat Al-Bukhari)


Lihatlah wahai saudaraku, betapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdo’a agar terlindung dari hutang di dalam shalatnya. Pernahkah kita seperti ini? Sayangnya kebanyakan dari kaum muslimin tidak mengetahuinya. Jangankan berlindung dari hutang, kebanyakan kaum muslimin malah menganggap sepele masalah hutang ini.

‘Hutang Dulu Ya, Minggu Depan Saya Bayar’, kurang lebih begitulah bunyi akad yang digunakan oleh kaum muslimin dalam berhutang. Sekilas memang tidak ada yang salah dengan akad ini.Tetapi jika kita perhatikan baik-baik , kita akan sadar bahwa disini tersimpan sesuatu yang salah. Kenapa kita begitu yakin bahwa minggu depan kita bisa membayar hutang kita?Yakinkah kita minggu depan badan kita masih bernyawa? Tentu kita yakin semua kaum muslimin akan menjawab tidak yakin. Tetapi sudah sesuaikah hati, lisan dan perbuatan kita? Mungkin ada di antara kita yang berpikir, ‘Ah Si Fulan kan orangnya baik, kalau saya meninggal, saya yakin dia akan mengikhlaskan hutang saya.’

Wahai saudaraku, kenapa kita bisa begitu yakin atas sesuatu yang tidak kita ketahui. Sudahkah kita bertanya kepadanya? Sudahkah kita bertanya kepada setiap orang yang memberi kita hutang tentang hal yang sama?


Demi Dzat yang jiwa kita semua berada di tangan-Nya. Setiap orang di Padang Mahsyar akan menyelesaikan semua urusan yang belum selesai. Termasuk hutang ini. Karena di sana tidak ada yang mau berkorban demi saudaranya. Karena di hari itu bukan hanya sekedar urusan hidup dan mati, tetapi urusan surga dan neraka. Tidak ada lagi pertalian keluarga, semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Apalah artinya kita yang bukan siapa-siapa dibandingkan dengan keluarga mereka?

“Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (Abasa : 33-37)


Bayangkanlah wahai saudaraku, pada hari itu, orang-orang bahkan tidak peduli dengan keluarga dan sanak familinya. Bayangkanlah di hari itu ketika seorang istri menuntut kepada suaminya sehingga kebaikan suaminya diambil olehnya dan dia menjadi senang karenanya, tidak peduli walaupun suaminya celaka. Pernahkah ini kita bayangkan? Wal ‘Iyadzubillah.


Segera! Tunaikan Hutang

Tetapi, jangan karena kita disibukkan oleh hutang kepada sesama, hutang kepada Rabbul ‘Alamin yang jauh lebih penting kita kesampingkan. Bahkan hutang kepada Allah Subhanahu Wa Ta’la lebih pantas untuk kita tunaikan, berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari :

“Dari Ibnu Abbas Radyallahu ‘Anhu : ‘Seorang wanita dari suku Juhaina datang kepada Nabi dan berkata , “Ibuku pernah bersumpah untuk melakukan haji, bolehkah aku berhaji untuk menggantikannya?”, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda “Tunaikanlah untuknya, jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarnya? Maka hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”

Hutang, baik itu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’la ataupun kepada sesama makhluk adalah sesuatu yang wajib ditunaikan. Jika engkau merasa berat untuk memenuhinya, maka tidak usah berhutang. Itu jauh lebih selamat. Karena perkara hutang bukanlah perkara yang sepele. Seseorang bisa yang semula masuk surga, karena dia memiliki hutang yang belum ditunaikan dia dilempar ke dalam neraka. Dan juga, tidaklah pantas bagi seorang muslim untuk menunda-nunda pembayaran hutangnya, hanya karena dia belum jatuh tempo sedangkan dia mampu.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya.” (Riwayat Al-Bukhari)

Karenanya, selagi badan masih bernyawa, selagi kita mampu, mengapa tidak kita selesaikan urusan yang belum diselesaikan di dunia, sebelum semuanya diselesaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’la di akhirat kelak. Yang jelas, jauhi hutang sebisa mungkin. Karena hal itu menyangkut perkara yang sangat besar, bahkan lebih besar daripada hidup dan mati, ini menyangkut perkara surga dan neraka.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’la melindungi kita semua dari hutang ini. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’la senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, keluarga dan para sahabatnya.


Referensi:(Wasis Abdu Al-Muhaimin Ibn Was Ibn Abdul Qadir, dengan penyesuaian seperlunya dari redaksi)

Maraji’ :Al-Qur’an Al-Karim,Shahih Bukhari,Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts,Al-Ilmiyah Wal Ifta

✿Agenda Muslimah✿
Ethy & Dinda Fyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sering Dibaca

tayangan bulan lalu